td.mbl_fo_hidden{display:none;} td.mbl_join_img{} td.mbl_join{} tr#tr0{display: none}th.mbl_h{display:none;}

30 Juli 2008


boy antoni putra stikes fort de cock bukittinggi pns dinas kesehatan kabupaten agam
PENGENDALIAN
BIAYA KESEHATAN PEGAWAI
* Oleh : boy antoni putra
1. PENDAHULUAN :
Dari data 11 negara anggota WHO kawasan Asia Selatan dan Tenggara (SEARO) dengan jumlah penduduk sekitar 1,5 milyar jiwa, diperoleh angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja setara dengan 22,5 juta DALY dan 699,000 kematian yang disebabkan oleh berbagai faktor resiko di tempat kerja dengan perincian: 5 juta kecelakaan/ tahun, 36 kecelakaan /menit, 90,000 kecelakaan fatal/ tahun, 300 kematian/ hari. Di Indonesia, dari data Jamsostek tahun 2002 diperoleh informasi sebanyak 66.367 kasus kecelakaan akibat kerja, dengan kematian sebesar 4.142 orang (CFR= 6,24%) dengan kerugian langsung setara dengan hilangnya 498.125.460 jam kerja efektif. Dari Data Jamsostek tahun 2003 diperoleh data setiap hari kerja terjadi 440 kasus kecelakaan akibat kerja dan 10.393 kasus (9,83%) mengalami cacat atau tidak mampu kerja 1). Data BPS tahun 2000 menyebutkan jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 95.650.961 orang dengan perincian laki-laki 58.779.722 orang (61,39%) dan perempuan 36.871.239 orang (38,61%) 1) diantaranya termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekitar 3.648.005 orang pada tahun 2003 2) maka masalah kesehatan dan keselamatan di tempat kerja serta masalah kesejahteraan pegawai/ tenaga kerja menjadi masalah nasional yang penting. Keharusan memenuhi kesejahteraan pegawai/ tenaga kerja, termasuk didalamnya jaminan pemeliharaan kesehatan tercantum dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3) dan UU No. 8 tahun 1974 jo. UU No.43 tahun 1999 tentang Kepegawaian 4) serta UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 5). Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 35 menjelaskan bahwa pemberi kerja wajib memberi perlindungan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, sedangkan pasal 86 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap pekerja / buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan * Makalah disajikan pada Konggres Nasional Praktik Pelayanan Kesehatan di Indonesia, diselengarakan oleh Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI), 29 – 31 Agustus 2006 di Hotel Borobudur Jakarta
* * Pengajar pada Fakultas Kesehatan Masyarakat & Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang.
kesehatan kerja, moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama dan ayat (2) menyebutkan bahwa untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujutkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. UU No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian pasal 32 ayat (1) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kegairahan bekerja diselenggarakan usaha kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS), ayat (2). Usaha kesejahteraan yang dimaksud yaitu program pensiun, tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan dan asuransi pendidikan bagi putera-puteri PNS, dan ayat (3) mengamanatkan PNS wajib membayar iuran setiap bulan dari penghasilannya, sedangkan ayat (4) menjelaskan bahwa untuk penyelenggaraan pensiun dan asuransi kesehatan, pemerintah menanggung subsidi dan iuran. Biaya kesehatan nasional, termasuk didalamnya biaya kesehatan pegawai/ tenaga kerja menunjukkan peningkatan yang berarti dari tahun ke tahun. Secara makro, peningkatan biaya kesehatan nasional dipicu oleh beberapa hal yaitu: peningkatan jumlah penduduk yang akan meningkatkan demand terhadap pelayanan kesehatan yang pada gilirannya akan berpengaruh pada peningkatan biaya kesehatan, inflasi biaya kesehatan yang cenderung lebih tinggi dibanding inflasi umum,transisi epidemiologi dan reemerging diseases, pelayanan kesehatan yang cenderung padat modal, padat teknologi, padat karya ditandai dengan spesialisasi tenaga kesehatan dan penggunaan iptek yang terus berkembang, perubahan pola pelayanan kesehatan yang semakin spesialis, masih lemahnya mekanisme pengendalian biaya dengan audit medis dan standar profesi masih kurang, begitu pula upaya penghematan biaya (cost containment) pada institusi kesehatan belum menjadi kesadaran segenap pengelolanya, dominasi cara pembayaran out of pocket dalam membiayai kesehatan, penyalahgunaan asuransi kesehatan dengan kecenderungan penggunaan berlebihan atau sistem reimbursement pada askes (swasta). 6) 7) 8) Pada dekade delapanpuluhan komposisi pembiayaan kesehatan nasional sebagai berikut : masyarakat/ swasta 70% dan pemerintah 30%. Untuk sumber dari masyarakat/ swasta dapat diperinci : rumah tangga/ out of pocket 75%, perusahaan 19% dan asuransi 6%. Jumlah biaya kesehatan nasional rata-rata sekitar Rp.2.260 milyar / tahun. Biaya kesehatan per kapita/ tahun hanya US$.14 atau 2,5% dari GDP (Gross Domestic Product) padahal standar WHO untuk persentase pembiayaan kesehatan terhadap GDP adalah 5%. Biaya kesehatan per kapita/ tahun diperinci : dari masyarakat/ swasta US$.9.8 dan dari pemerintah US$.4.2. Sebagai perbandingan : Malaysia US$.67, Thailand US$73, Filipina US$.14 dan India US$.21 per kapita/ tahun 9). Pada dekade sembilanpuluhan komposisi biaya kesehatan nasional belum berubah banyak, masyarakat/ swasta sebesar 75% dan pemerintah 25%. Biaya dari masyarakat/ swasta diperinci : rumah tangga / out of pocket 75%, perusahaan 18,7% dan asuransi 6,3%. Biaya kesehatan nasional sekitar 2,5% dari GDP atau perkapita/ tahun sebesar US$.12, pemerintah US$. 4 dan masyarakat/ swasta US$. 8, saat itu Malaysia US$.93, Thailand US$.64, Filipina US$.124 dan India US$.133. Dari US$.8 tersebut diperinci : US$.6 merupakan belanja rumah tangga perkapita, US$.1,5 belanja kesehatan perusahaan dan hanya US$.0,5 bersumber pada asuransi kesehatan 10) Pada dekade pertama abad 21, komposisi tersebut berubah dengan meningkatnya pembiayaan dari masyarakat/ swasta menjadi 38% dan pemerintah 62% pada tahun 2002. Sumber biaya dari masyarakat dapat diperinci : 42%, perusahaan 16% dan asuransi 4%. Jumlah total biaya kesehatan mencapai Rp.51.992 milyar dibandingkan Rp.45.247 milyar pada tahun 2001. Kenaikan ini antara lain disebabkan oleh adanya program Jaring Perlindungan Sosial Bidang Kesehatan untuk mengatasi dampak krisis moneter tahun 1997 – 2000 dengan subsidi biaya kesehatan bagi keluarga miskin, yang kemudian dilanjutkan dengan PKPS BBM pada tahun 2002. Total biaya kesehatan nasional pada tahun 2001 sebesar 3% dari GDP dan di tahun 2002 sebesar 3,2% dan biaya kesehatan perkapita naik dari US$.21 menjadi US$.26. 11) Tabel 1 Komposisi Pembiayaan Kesehatan Indonesia (jumlah rupiah dan persentase) Pembiayaan kesehatan nasional Dekade 80 an 9) Dekade 90an 10) Awal 2000an 11) 2001 2002 Total biaya kesehatan nasional Perkapita/ tahun a.Masyarakat / swasta b.Pemerintah 2.260 M rata2 US$.14 US$.9.8 (70,0) US$.4.2 (30,0) US$.12 US$.8 (75,0) US$.4 (25,0) 45.247 M US$.21 US$.13,4 (64,2) US$. 7,56 (35,8) 51.992 M US$.26 US$.16,6 (62,0) US$.10,4 (38,0) Masyarakat/ swasta a. Rumah tangga/ out of pocket b. Perusahaan / naker c.Asuransi (75,0) (19,0) (6,0) (75,0) (18,7) ( 6,3) (42,0) (16,0) (4,0) Tabel 2 menunjukkan biaya kesehatan pegawai yang ada di perusahaan sebesar 19,94% pada tahun 2001 dan turun menjadi 18,72% di tahun 2002 dan yang tercakup dalam askes juga turun dari 4,11% menjadi 3,16%. Biaya kesehatan dari masyarakat/ swasta termasuk pegawai/tenaga kerja terbanyak dipergunakan untuk rawat inap. Tabel 2 Belanja Kesehatan Masyarakat / Swasta Tahun 2001 dan 2002 11) Sumber biaya dan pemanfaatannya 2001 2002 Masyarakat/ swasta: a. Out of pocket (rumah tangga) b. Perusahaan c. Askes d. Obat 29.036 M (45,90) (19,94) ( 4,11) (30,05) 33.257 M (48,63) (18,72) ( 3,16) (27,49) Masyarakat/ swasta (milyar Rp) a. Berobat sendiri b. Rawat inap c. Rawat jalan d. Check up 13.116 M 16,10 61,63 14,44 7,82 16.119 M 18,12 61,16 13,74 6,98 Rawat jalan : a. Out of pocket b. Swasta/ perusahaan Rawat inap: a. Out of pocket b. Swasta/ perusahaan (60,09) (39,91) (61,41) (38,59) (78,6) (21,4) (93,5) ( 6,5) Masih banyak pemilik/ manajer perusahaan yang belum menyadari pentingnya pegawai sebagai aset perusahaan yang harus dipelihara dan dikembangkan kapasitasnya juga menyebabkan masih banyak perusahaan yang tidak mengalokasikan anggaran perusahaan untuk pemeliharaan kesehatan pegawainya 1) Kesadaran pengusaha untuk menjamin pemeliharaan kesehatan pegawainya masih rendah. Data dari PT. Jamsostek pada tahun 2004 menunjukkan total jumlah perusahaan yang terdaftar di Jamsostek sebanyak 118.666 buah dengan jumlah tenaga kerja yang didaftarkan sebagai peserta Jamsostek sebanyak 19.936.166 orang. Dari jumlah itu jumlah perusahaan yang aktif hanya sekitar 59,30% atau sebanyak 70.378 buah dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 7.812.409 orang 12) Bila jumlah angkatan kerja pada tahun 2004 siperkirakan sekitar 110 juta orang maka diluar Jamsostek masih terdapat sekitar 90 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor informal yang belum tercakup jaminan kesehatan dan selama ini belum banyak digarap oleh Jamsostek. Kesertaan penduduk Indonesia dalam asuransi kesehatan diperkirakan sekitar 78.900.000 orang ( 36 % dari 220 juta penduduk Indonesia ) pada tahun 2004. Jumlah tersebut diperinci menjadi : PNS (3,6 juta orang) dan anggota keluarganya yang tercakup dalam Askes diperkirakan sebanyak 14 juta orang, askes sukarela PT. Askes sekitar 1 juta orang, askes miskin (program PJKMM) lewat PT. Askes sekitar 54 juta orang, askes untuk anggota TNI sekitar 2 juta orang, Jamsostek 2,9 juta orang, askes swasta komersial sekitar 5 juta orang. 12) Dari sejumlah 78,9 juta orang yang tercakup asuransi kesehatan berarti diperkirakan hanya sekitar 14,5 juta pegawai/ tenaga kerja di Indonesia yang mempunyai jaminan asuransi kesehatan (13% dari total pegawai/ tenaga kerja) dan mereka adalah pegawai sector formal. Masih rendahnya persentase jumlah pegawai yang tercakup askes akan meningkatkan jumlah pembiayaan kesehatan secara out of pocket baik secara perorangan (terutama tenaga kerja sektor informal) karena tidak mendapat jaminan biaya maupun yang dibelanjakan oleh perusahaan dengan cara reimbursement (mengganti biaya pelayanan kesehatan yang telah dibayarkan terlebih dahulu oleh pegawai). Akses masyarakat yang terjamin asuransi kesehatan ke pelayanan kesehatan lebih besar daripada yang tidak terjamin. Dari data Susenas 1998 diperoleh hasil pada pelayanan rawat jalan dokter praktek swasta, angka kunjungan 10% penduduk terkaya dan terjamin asuransi kesehatan sebesar 123 per 1000 orang dibandingkan 108 per 1000 orang yang tidak terjamin askes. Pada pelayanan rawat inap di rumah sakit. Pada tahun 1995, diantara 1000 orang yang terjamin terdapat 179 hari rawat dan jumlah ini meningkat menjadi 303 hari pada tahun 1998, sedangkan yang tidak terjamin jumlah hari rawat 152 hari pada tahun 1995 dan sebanyak 199 hari pada tahun 1998 13) Diperkirakan perbedaan akses tersebut juga tidak berbeda jauh pada kelompok pegawai/ tenaga kerja. Tingginya persentase pembiayaan kesehatan pegawai (swasta/ perusahaan) untuk pelayanan rawat jalan dan rawat inap di satu sisi dan adanya kecenderungan akses pelayanan kesehatan lebih baik pada kelompok masyarakat yang terjamin asuransi kesehatan yang juga dapat diartikan adanya kecenderungan pemanfaatan asuransi kesehatan lebih besar di sisi lain maka biaya kesehatan pegawai merupakan salah satu masalah pembiayaan kesehatan yang harus diantisipasi dan dikendalikan.
2. PEMBAHASAN:
2.1. Biaya kesehatan pegawai: Biaya kesehatan pegawai dapat diartikan sebagai semua belanja/ pengeluaran untuk membiayai pemeliharaan kesehatan pegawai/ tenaga kerja baik dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan kesehatan serta produktivitas pegawai/ tenaga kerja Selain gaji, insentif, bonus dan penghargaan lainnya baik material maupun non material, biaya kesehatan pegawai merupakan salah satu bentuk kompensasi yang diberikan oleh perusahaan/ institusi kepada pegawainya karena kewajiban pekerjaan telah ditunaikan. Jadi biaya kesehatan pegawai merupakan hak pegawai yang harus diberikan oleh perusahaan. Pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan pegawai bertujuan agar pegawai tetap dapat bekerja secara produktif. 14) 15) 2.2. Biaya kesehatan perusahaan dibelanjakan untuk apa saja? Sebagian besar biaya kesehatan perusahaan dibelanjakan untuk pengobatan (kuratif) baik rawat jalan maupun rawat inap pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta (Tabel 2). Masih sedikit pembiayaan kesehatan yang dialokasikan untuk upaya preventif dan promotif. Sebagai bagian dari pembiayaan kesehatan nasional, besar atau kecilnya biaya kesehatan pegawai juga ditentukan oleh cara / metode pembiayaan kesehatan yang dipakai : 16) 17) a. Out of pocket : tidak adanya jaminan pembiayaan dari perusahaan membuat pegawai harus membayar langsung dari dompet sendiri setelah selesai mendapatkan pelayanan kesehatan. Jenis ini sangat memberatkan pegawai bila mereka harus menjalani rawat inap yang lama karena penyakit katastropik. Pada model ini juga hampir tidak ada kendali biaya, provider pelayanan (khususnya dokter) lebih suka dengan model ini. Posisi supplier induced demand dan dipihak lain terjadi consumers ignorance memicu sulitnya kendali biaya. b. Reimbursement : perusahaan / institusi kerja menjamin pembiayaan kesehatan pegawai dengan cara mengganti sebagian/ seluruh biaya kesehatan yang telah dikeluarkan oleh pegawai dengan cara klaim. Rendahnya kendali merupakan kelemahan model ini. c. Perusahaan mempunyai sarana pelayanan kesehatan sendiri baik sebagian atau jaringan baik pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Butuh biaya investasi yang sangat besar untuk menyediakan sarana pelayanan sendirir apalagi rumah sakit sendiri, hanya perusahaan besar dengan jumlah tenaga kerja yang besar yang mampu membangun sarana pelayanan kesehatan sendiri dan mempekerjakan tenaga medis sendiri karena membutuhkan modal yang besar dan biaya operasional yang besar, disamping administrasi/ manajemen yang rumit.. Alasan menyebarnya pegawai karena tempat produksi sangat menyebar dan seringkali sulit/ tidak bisa akses ke sarana kesehatan di daerahnya menjadi pertimbangan utama perusahaan memmbangun sarana pelayanan sendiri. Administrasi d. Perusahaan bergabung dengan perusahaan asuransi kesehatan dan membayarkan premi / iuran pegawainya kepada perusahaan suransi kesehatan. Jamsostek dan Askes merupakan salah satu model ini. Paket jaminan menjadi berkembang tidak hanya jaminan pemeliharaan kesehatan tetapi juga jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Perkembangan model ini sangat dipengaruhi oleh adanya undang-undang yang mewajibkan perusahaan menjamin hal tersebut. Ada tiga pihak yaitu: tertanggung (pegawai), penanggung (badan asuransi) dan provider pelayanan kesehatan. Dengan pendekatan managed care model ini dianggap sebagai model yang paling tepat untuk mengendalikan biaya sekaligus mutu pelayanan. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh provider sesuai dengan cara pembayaran dari badan asuransi, bisa secara fee for services, case payment pembayaran per hari, pembayaran dengan bonus, kapitasi, gaji , pembayaran perdiem, anggaran dan peringkat kasus. Perbedaan masing-masing jenis sebagai berikut: 17) 18) 19) 20) 1. Fee for services (FFS) : pembayaran berdasarkan pelayanan yang telah diberikan, biasanya per item pemeriksaan, tindakan, terapi dan lain-lain yang diidentifikasi satu persatu kemudian dijumlahkan dan ditagihkan kepada badan askes. Resiko mengarah kepada perusahaan/ pegawai. Ada dua jenis yaitu : FFS terbatas dan tidak terbatas. Keuntungan : penyedia pelayanan kesehatan (PPK) mendapatkan pembayaran yang sama besarnya dengan pelayanan yang telah diberikan kepada masing-masing pasien yang berakibat kualitas pelayanan lebih terjamin karena provider tidak berusaha mengurangi pelayanan. Pasien mempunyai akses pelayanan yang luas dan bebas memilih sarana pelayanan. Kerugian : PPK cenderung memberikan pelayanan yang berlebihan (yang tidak terkait dengan tindakan/ pemeriksanaan yang seharusnya diberikan menurut standar medis) agar mendapatkan pembayaran yang besar.
Beban biaya yang besar dan sulit dikontrol akan memberatkan badan askes sehingga model ini tidak efisien tetapi pada model FFS terbatas, kontrol biaya menjadi lebih baik.
2. Case payment (pembayaran berdasarkan kasus): pembayaran berdasarkan kasus/ diagnosis / paket pelayanan/ episode pelayanan. Kasus/ diagnosis disusun berdasarkan standar pemeriksaan/ pengobatan yang seharusnya diterapkan untuk masing-masing penyakit oleh suatu komite. Misalkan Singapura dengan ICD IX disusun 666 DRG (Diagnosis Related Group). Keuntungan : Biaya dapat dikontrol, terjadi efisiensi biaya dan biaya dibayarkan berdasarkan standar pelayanan/ medis yang memang seharusnya diberikan. Kualitas pelayanan terbaik menurut standar medis dapat dicapai dengan model ini sementara kendali biaya juga dapat dilakukan. Kerugian : Resiko lebih berkaitan dengan provider. Kesulitan PPK adalah dalam menyusun DRG dan perencanaan jumlah pembayaran kepada PPK, begitu juga koordinasi staf medik dan administrator yang selalu harus dilakukan serta masalah kerumitan administrasi. 3. Pembayaran per hari (daily charge) : pembayaran kepada PPK berdasarkan jumlah hari pelayanan atau jumlah hari rawat inap. Keuntungan : PPK mendapatkan jumpal pembayaran besar terutama bila banyak kasus penyakit yang memerlukan rawat inap lebih lama. PPK memberikan pelayanan seharusnya, tidak mengurangi yang berakibat turunnya kualitas pelayanan. Kerugian : resiko finansial mengarah ke badan asuransi karena PPK cenderung memperlama hari rawat (length of stay) agar mendapatkan pembayaran yang besar. 4. Pembayaran dengan bonus (bonus payment) : pembayaran tambahan kepada PPK karena kinerja tertentu telah dilakukan oleh PPK, misalkan PPK melakukan pelayanan preventif atau promotif. Keuntungan : Merangsang PPK untuk mengembangkan kinerja tambahan yang berdampak positif bagi kesehatan pasien (upaya preventif atau promotif), tambahan pendapatan ini akan menguntungkan PPK.
Kerugian: masalah administrasi menjadi lebih rumit (menentukan perhitungan bonus. 5. Kapitasi : pembayaran kepada PPK berdasarkan jumlah orang (caput) yang menjadi tanggung jawab dokter dan tidak tergantung jumlah pelayanan atau tindakan/ obat yang diberikan oleh PPK. Keuntungan : bagi PPK berarti penghematan biaya dan sekaligus dapat mengurangi pemberian pelayanan/ tindakan yang berlebihan dari PPK. PPK bisa beruntung apabila kebetulan jumlah pasien yang berobat lebih sedikit dibanding jumlah kapita yang dibayarkan oleh PPK. Dalam jangka panjang model ini dapat merangsang PPK untuk mengembangkan upaya preventif dan promotif agar jumlah yang sakit berkurang. PPK dapat merencanakan pelayanan dengan lebih baik karena memperoleh anggaran yang sekaligus dalam jumlah besar. Kerugian : PPK menerima pembayaran yang tidak sesuai dengan jumlah pasien yang dilayani atau tindakan yang telah diberikan. PPK dapat merugi karena jumlah pasien lebih banyak daripada jumlah kapita yang dicakup/ Bila jumlah rupiah kapitasi sangat kecil dapat menyebabkan PPK memberikan pelayanan yang tidak adekuat. 6. Gaji/ salary : pembayaran kepada PPK berdasarkan sejumlah gaji tertentu yang besarnya dibobot dengan kualifikasi , pengalaman, masa kerja, golongan dsb dan tidak berdasarkan beban kerja atau biaya pelayanan yang telah dikeluarkan oleh PPK. Keuntungan : bagi badan asuransi model ini dapat direncanakan dengan mudah, administrasi juga lebih mudah. Model ini dapat dimodifikasi dengan menahan/ menyimpan sebagian gaji dan berfungsi sebagai bonus, sehingga kinerja PPK dapat ditingkatkan. Kerugian : Bagi PPK (dokter) dapat menurunkan kinerjanya bila gaji dirasakan terlalu rendah dan perasaan “ tidak dihargai profesinya”. Bagi badan asuransi dapat memberatkan bila tuntutan gaji sangat tinggi. 7. Anggaran global Æ pembayaran kepada PPK dengan menyusun suatu anggaran yang telah dinegosiasikan dengan PPK dimana satu pembayaran untuk seluruh pelayanan yang diberikan dalam satu episode pelayanan, baik kunjungan klinis, pemeriksaan lab, test diagnostik, obat. Keuntungan : PPK terdorong untuk memberikan pelayanan yang efektif (tidak berlebihan), dalam hal tertentu model ini hampir seperti kapitasi. PPK dapat merencanakan pelayanan dengan lebih baik karena memperoleh anggaran yang sekaligus dalam jumlah besar. Kerugian : bila anggaran tak sesuai dengan kebutuhan PPK maka ada kecenderungan PPK mengurangi pelayanan. Perusahaan/ institusi juga sekaligus harus menyediakan anggaran kesehatan pegawainya dalam jumlah besar. 8. Per diem .. pembayaran kepada PPK yang jumlahnya tetap perhari untuk pelayanan yang diberikan. Biasanya diberlakukan pada pelayanan rawat inap dengan lama maksimum dirawat untuk suatu dignosis khusus. Besarnya perdiem tergantung pada intensitas pelayanan yang diberikan., misalnya biaya perdiem ICU lebih besar daripada rawat inap psikiatri. Keuntungan : bagi badan asuransi memudahkan adminstrasi dan perencanaan biaya, Kerugian : bila ternyata pasien memerlukan pelayanan yang menyebabkan biaya lebih besar dari per diem maka akan merugikan PPK. Cara ini juga dapat merugikan badan asuransi bila PPK cenderung memperlama hari perawatan. 9. Peringkat kasus (case rates) Æ pembayaran kepada PPK berdasarkan peringkat kasus, jumlah biaya relatif tetap besarnya dan dinegosiasikan dengan PPK . Hampir sama dengan anggaran global, metode peringkat kasus dapat disesuaikan dengan kondisi tertentu, misalkan suatu kasus butuh pelayanan yang lebih intensif dan lebih mahal. Keuntungan : pembiayaan menjadi lebih efisien sehingga menguntungkan badan asuransi dan PPK memperoleh pembiayaan pelayanan yang relatif memadai sesuai peringkat kasusnya. Kerugian : memerlukan upaya yang tidak mudah untuk menelaah kasus per kasus dan membuat peringkatnya.
2.3. Antisipasi kecenderungan makin meningkatnya biaya kesehatan pegawai : Pihak perusahaan berupaya untuk mengendalikan biaya kesehatan pegawai karena kenaikan biaya kesehatan dapat memberatkan keuangan perusahaan. Sebagai salah satu komponen cost of production maka perusahaan akan berusaha untuk memangkasnya selain karena alasan efisiensi biaya juga harapan keuntungan (profit) yang lebih tinggi. Dari sisi pegawai, biaya kesehatan juga perlu dikendalikan karena akan memberatkan pegawai terutama bila perusahaan tidak memberikan jaminan biaya kesehatan. Dari sisi perusahaan asuransi juga akan berusaha menekan peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayarkan kepada PPK. Dari kurun waktu 1993 sampai 1999 perkembangan biaya kesehatan di PT. Askes rata-rata sebesar 19,2% sedangkan penerimaan premi rata-rata tumbuh 17,1% per tahun. Dalam kurun waktu 15 tahun (1984 – 1999) PT. Askes mempunyai rasio klaim terhadap penerimaan premi rata- rata 72,1% (terendah 54,3% dan tertinggi 93,3%). Selama kurun waktu itu PT. Askes hanya menghabiskan 60% dana yang diterima untuk biaya kesehatan 21). Sebagai badan asuransi pelopor penerapan managed care PT. Askes menerapkan berbagai kaidah pengendalian biaya antara lain cost sharing dan co payment, pembayaran kepada PPK berdasarkan kapitasi total, sistem anggaran dan DRG. Masalah transisi epidemiologi yang antara lain berakibat meningkatnya catastropic diseases berakibat meningkatnya biaya kesehatan bagi peusahaan asuransi. Pelayanan haemodialis untuk gagal ginjal kronis menyerap dana sampai 10% dari total biaya kesehatan di PT. Askes dengan jumlah penderita gagal ginjal kronis meningkat dari 481 orang (1989) menjadi 1.740 orang (1994) dan jumlah tindakan juga meningkat dari 23.882 kali (1989) menjadi 80.421 kali (1994) 21). 2.4.Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya kesehatan pegawai? 7) 16) 18) 19) 21) 22) Secara makro, sebagai bagian dari pembiayaan kesehatan nasional, maka ada berbagai faktor yang mempengaruhi kenaikan biaya kesehatan pegawai : a. Jumlah pegawai berikut komposisinya : Semakin besar jumlah pegawai ada kecenderungan meningkatkan biaya kesehatan pegawai, apalagi bila didominasi oleh wanita dan usia paruh baya. b. Jenis / bidang usaha: Perusahaan dengan jenis pekerjaan dengan resiko terhadap kecelakaaan kerja seperti perusahaan manufaktur akan cenderung meningkatkan biaya kesehatan pegawai, begitu juga dengan perusahaan yang mempunyai banyak anak perusahaan atau kantor cabang di berbagai wilayah. c. Model pembiayaan kesehatan pegawai yang dipilih: Perlu kecermatan dan pemikiran yang matang dalam memilih model pembiayaan kesehatan di perusahaan. Bagi perusahaan pertimbangan utama adalah efisiennya biaya dan kemudahan administrasi sekaligus jaminan bahwa pegawainya dapat dilayani dengan baik sesuai standar medis. Bagi PPK, pertimbangan utamanya adalah memberikan pelayanan yang tepat sesuai standar medis tanpa pembatasan biaya yang dianggap bertentangan dengan penghargaan profesionalitas mereka sekaligus administrasi yang lebih mudah. Bagi pegawai, pertimbangan utamanya yaitu mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan segera sembuh (selesai masalah kesehatannya) dengan biaya memadai sesuai kemampuan mereka. d. Komitmen manajemen dan kemampuan keuangan perusahaan: Komitmen manajemen akan pentingnya pegawai sebagai aset dan sumber daya perusahaan sangat berpengaruh pada besar kecilnya perhatian mereka terhadap pemeliharaan kesehatan pegawainya. Kondisi keuangan perusahaan sangat berperan dalam pembiayaan kesehatan pegawai. Untuk membiayai kesehatan pegawainya, suatu perusahaan harus menyisihkan sejumlah anggaran tertentu yang biasanya diambilkan dari komponen ongkos produksi yang biasanya berasal dari komponen gaji/ upah pegawai. e.Upaya-upaya keselamatan dan kesehatan kerja yang dikembangkan oleh perusahaan. Upaya atau program K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) yang dikembangkan oleh perusahaan secara kontinyu selain dapat menguragi angka kecelakan kerja juga dapat mengurangi angka penyakit akibat kerja (PAK) dan penyakit akibat hubungan kerja (PAHK) yang akhirnya dapat menurunkan biaya kesehatan dan meningkatkan produktivitas pegawai. Tabel 3 Angka Kecelakaan Kerja di Perusahaan di Indonesia 23) Tahun Kasus Kecela- kaan Kerja Jumlah perusahaan Jumlah tenaga kerja % kecelakaan kerja / tenaga kerja 1999 91.510 80.802 11.094.575 0,82 2000 98.902 84.439 13.552.141 0,73 2001 104.774 93.329 16.356.250 0,64 2002 103.804 100.929 17.369.960 0,60 2003 105.846 109.807 19.337.886 0,55 Upaya peningkatan kepedulian perusahaan dan tenaga kerja terhadap program K3 di perusahaan masih menjadi agenda besar di masa mendatang karena masih tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia seperti tercantum pada Tabel 3. Implikasi tingginya angka kecelakaan kerja tersebut adalah menurunnya produktivitas pegawai dan meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dan pegawai. f. Tuntutan serikat pekerja: Tuntutan pegawai yang diwadahi dalam suatu serikat pekerja (organisasi pegawai/ buruh) agar perusahaan menjamin kesejahteraan pegawai termasuk pemeliharaan kesehatan mereka akan menyebabkan perusahaan membuat kebijakan memberikan jaminan kesehatan pegawainya. g. Kebijakan pemerintah: Pemerintah mempunyai kepentingan terhadap kesejahteraan masyarakat termasuk kelompok pekerja/ pegawai. UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja pasal (6) dan pasal (16) , UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal (86), UU No.8 tahun 1974 jo. UU No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian yang mengatur pegawai negeri sipil pada pasal (32) serta UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pasal (18) sampai dengan pasal (28) yang mengatur jaminan kesehatan. Semua undang-undang tersebut mengamanatkan keharusan untuk menjamin pemeliharaan kesehatan tenaga kerja/ pegawai. Dalam penerapannya berbagai undang-undang dan perangkat hukum dibawahnya memerlukan legal enforcement yang memadai sehingga dapat mengurangi jumlah pegawai yang tidak terjamin kesehatannya karena majikan / pengusaha yang sengaja melalaikannya. h. Sistem pelayanan kesehatan yang ada: Pada kondisi dimana sistem rujukan belum berjalan dengan baik maka biaya kesehatan akan sulit terkendali, begitu juga pola pelayanan kesehatan yang semakin spesialis, lemahnya mekanisme pengendalian biaya dengan audit medis dan standar profesi yang masih kurang. Dokter mengambil peran penting dalam kendali biaya. Dokter lebih menyukai sistem pembayaran fee for services yang dianggap ”menghargai” profesi mereka dan memberi kesempatan untuk mendapatkan insentif tidak terbatas begitu juga dokter mendapatkan insentif dari industri farmasi. Dalam sistem pelayanan kesehatan yang bercirikan supplier induced demand dan consumer’s ignorance maka dapat terjadi profesi dokter menyediakan pelayanan tidak berdasarkan kebutuhan pasien tetapi lebih pada motivasi ekonomi dokter, sehingga model kapitasi yang dikembangkan dalam sistem asuransi kesehatan dapat menyebabkan supplier reduced demand i.Sistem pembiayaan kesehatan yang ada : Pada sistem pembiayaan kesehatan yang didominasi dengan out of pocket dan sedikitnya jumlah penduduk yang tercakup skema asuransi kesehatan sangat berpengaruh pada tingginya biaya kesehatan. Sebaliknya sistem asuransi kesehatan dengan model managed care (keterpaduan kendali mutu dan kendali biaya) diyakini merupakan kendali biaya yang efektif. Semua itu dapat dicapai antara lain bila penyalahgunaan asuransi kesehatan dengan kecenderungan penggunaan berlebihan dapat dieliminir, sistem reimburesement pada askes (swasta) dilakukan dengan limitasi, pengembangan cara pembayaran ke PPK yang cost effective. Salah satu kajian studi kasus di rumah sakit Surya Husada Denpasar untuk peserta JPKM Surya Husada Hospital Club dengan peserta karyawan hotel dengan pegawai lebih 100 orang di tahun 1998. Pada kasus karyawan Hotel Grand Hyatt Bali (2935 orang peserta) setiap tahun mengalami kerugian sekitar Rp.173.958.516. Faktor penyebabnya adalah: 1). pembayaran pada PPK I dan PPK II secara fee for services, 2). terjadi over utilization karena poliklinik terletak di dalam hotel dengan pelayanan 24 jam, 3). 50,46% rawat inap adalah kasus kebidanan dan kandungan dimana 30,53% diantaranya persalinan dengan bedah caesar (sebagai perbandingan di rumah sakit pendidikan dimana bedah caesar dilakukan atas indikasi medis yang tepat yaitu RSUP. dr. Sardjito Yogyakarta hanya sebesar 10,7%), 4). penggunaan obat rawat jalan yang tinggi terjadi pad PPK I (56,82%) karena belum ada formularium, pola peresepan yang berlebihan baik jenis maupun harganya serta angka kunjungan PPK I yang tinggi, 5). Penetapan premi belum didasarkan pada perhitungan biaya satuan dan utilisasi pelayanan. 6). Jumlah peserta JPKM yang belum memenuhi law of large number 24) j. Tata niaga obat : Harga obat yang cenderung tinggi antara lain karena industri farmasi yang masih tergantung impor (khususnya bahan baku obat) sangat rentan terhadap inflasi apabila nilai dollar juga naik. Selain itu tata niaga obat dengan rantai distribusi obat yang panjang dari produsen sampai konsumen disertai dengan biaya pemasaran yang sangat tinggi menyebabkan sulit menjual obat dengan harga yang terjangkau, kecuali obat generik yang pemakaiannya harus didukung dengan enforcement tertentu. Di Taiwan dimana kesertaan asuransi kesehatan nasional mencapai hampir 100%, peresepan obat generik mencapai 70%. Peresepan obat bermutu tetapi rendah harganya akan meningkat pada sistem pelayanan kesehatan yang didominasi asuransi kesehatan. Tata niaga obat juga diwarnai oleh berbagai pemborosan yaitu : 1). Pembelian obat bebas (tanpa resep) oleh masyarakat sangat sulit dikontrol, 2) . Sistem distribusi obat sektor publik melalui gudang farmasi di kabupaten/ kota dan puskesmas terjadi pemborosan biaya antara 40% sampai 60% dibandingkan dengan negara yang menggunakan sistem distribusi langsung ke pelayanan kesehatan. 3). Cara pemilihan, produksi dan distribusi obat brand name terutama di sektor swasta masih dapat dihemat antara 20% sampai 30%, 4). Penggunaan obat yang tidak rasional terjadi hampir menyeluruh di Indonesia seperti dalam peresepan, pemberian obat tanpa resep, pemakaian obat tanpa pemeriksaan yang benar, penngunaan obat tidak sesuai regimen baik di sektor publik maupun swasta telah menyebabkan pemborosan obat antara 37% sampai 58% 25) k. Inflasi umum dan inflasi biaya kesehatan : Pada kondisi inflasi barang dan jasa umum yang cenderung meningkat maka inflasi biaya kesehatan juga akan meningkat karena untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dibutuhkan berbagai sumber daya. Pegawai (sumber daya manusia) memerlukan gaji/ upah yang juga seharusnya disesuaikan pada kondisi dimana harga barang dan jasa kebutuhan sehari-hari juga cenderung meningkat. Inflasi biaya kesehatan mencapai 2 – 3 kali lipat inflasi barang dan jasa umum, di akhir tahun delapanpuluhan sudah mencapai 14%, sedangkan inflasi barang dan jasa umum hanya sekitar 5%. Laju inlasi akan semakin besar akibat kebijakan kenaikan harga BBM. Sebagai salah satu komponen biaya faktor produksi, kenaikan BBM memberikan efek multiplier terhadap inflasi. Sumbangan terbesar dalam inflasi biaya kesehatan adalah harga obat. Total biaya obat nasional mengalami peningkatan pesat dari Rp. 369,16 milyar (tahun 1984) menjadi Rp.10.664,74 milyar (tahun 2002), belanja obat per kapita juga naik dari Rp.2.346,- (tahun 1984) menjadi Rp.50.058,- (tahun 2002). Laju inflasi harga obat dapat mencapai 17% per tahun. 25) 2.5. Strategi pengendalian biaya kesehatan pegawai : Sebagai bagian dari pengendalian biaya kesehatan makro, maka beberapa strategi pengendalian biaya kesehatan pegawai yang dapat dilakukan tidak terlepas dari sistem pembiayaan kesehatan nasional. Secara makro, upaya yang dapat dilakukan bersamasama antara lain: a. Mengembangkan asuransi kesehatan serta mewujudkan penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Idealitas sistem asuransi kesehatan dalam SJSN masih memerlukan kajian lebih dalam hal aspek efisiensi, responsiveness, kualitas pelayanan dan PPK, keterjangkauan, keberlanjutan, subsidi silang, keadilan dan pemerataan, portabilitas, keberhasilan pencapaian universal coverage serta aspek desentralisasi seiring UU No. 32/ 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU No.32/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 26) b. Terus mengembangkan sistem asuransi kesehatan yang managed care (keterpaduan kendali biaya dengan kendali mutu) dengan penetapan pedoman pembayaran kepada PPK, menerapkan co payment dan cost sharing, penerapan kapitasi, anggaran, sistem tarif berdasarkan kelompok pelayanan (paket) serta DRG, penetapan besaran premi yang disesuaikan dengan pola penyakit serta kaidahkaidah underwriting lainnya , begitu juga kendali biaya sekaligus kendali mutu melalui kontrak dan seleksi penyelenggaraan pelayanan lewat credentialing, profil dokter, utilization review baik prospektif maupun concurrent 18) c. Meningkatan perhatian kepada pelayanan kesehatan preventif dan promotif, serta meningkatkan sistem rujukan medis. d. Meningkatkan mekanisme pengawasan dan pengendalian penggunaan dana/ anggaran kesehatan baik anggaran kesehatan publik maupun dana dalam perusahaan dengan sistem pengawasan yang tepat. e. Meningkatkan penyusunan kebijakan dan peraturan yang berpengaruh pada upaya pengendalian biaya kesehatan, antara lain lewat : peraturan sertifikat kebutuhan fasilitas di sarana kesehatan, keharusan studi kelayakan/ proyek investasi kesehatan, pengembangan sarana/fasilitas secara terencana dan penetapan standar baku pelayanan (prosedur pemeriksaan, perawatan dan obat-obatan) lewat penerapan program menjaga mutu pada semua institusi pelayanan kesehatan. f. Pengaturan dan penyempurnaan peraturan tentang tarif pelayanan baik pelayanan pemerintah maupun swasta. Selama ini penetapan tarif pelayanan kesehatan pemerintah cenderung ketat sementara untuk swasta seperti tidak ada pembatasan, mereka dapat menetapkan tarif pelayanan dengan bebas. g. Penyempurnaan tata niaga obat antara lain dengan peningkatan penyediaan bahan baku di dalam negeri, meningkatkan produksi obat generik serta meningkatkan pemahaman dan kemauan dokter untuk meresepkan obat generic dan mengurangi pemborosan dalam distribusi dan peresepan obat. h. Mengembangkan upaya K3 di perusahaan untuk menekan angka kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam rangka mengendalikan biaya kesehatan perusahaan dan meningkatkan produktivitas pegawai. i. Peningkatan upaya sosialisasi kebijkan / perundang-undangan dan penegakan hukum (legal enforcement) terhadap beberapa Undang-Undang yang terkait dengan jaminan memelihara kesehatan pegawai / tenaga kerja/ masyarakat luas yaitu UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian serta UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Beberapa pasal dalam Undang-undang tersebut masih memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam peraturan dibawahnya (Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Kepmenkes / Permenkes sampai dengan peraturan di daerah yaitu Perda baik ditingkat propinsi maupun kabupaten/ kota. Seiring dengan desentralisasi pemerintahan termasuk kesehatan maka penjabaran undang-undang tersebut juga memerlukan pemahaman akan semangat desentralisasi pemerintahan. 3. KESIMPULAN : Pengendalian biaya kesehatan pegawai/ tenaga kerja merupakan upaya yang harus dilakukan secara kontinyu, terencana dan simultan oleh pemerintah, pelaku dunia usaha/ pengusaha, pegawai/ tenaga kerja, badan asuransi , PPK , perusahaan farmasi dan jaringannya serta organisasi profesi. Dengan biaya kesehatan yang terkendali diharapkan dapat diperoleh pelayanan kesehatan yang lebih efisien tetapi berkualitas agar tercapai produktivitas kerja yang maksimal. DAFTAR PUSTAKA : 1) Azwar, Asrul. Kebijakan Kesehatan Kerja di Era Desentralisasi, makalah pada Konvensi Nasional Kesehatan Kerja 25- 26 Agustus 2004 di Jakarta. 2) Kompas, Sabtu 26 Maret 2005 . Pengabdian Kepada Raja. 3) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 4) UU No.43 tahun 1999 tentang Kepegawaian. 5) UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 6) Gani, Ascobat. Ekonomi Kesehatan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, makalah pada Semiloka Penggunaan Ilmu Ekonomi di Bidang Kesehatan Masyarakat, Pertemuan tahunan Perhimpunan Peminat Ekonomi Kesehatan Indonesia, 7-8 November 1990 di Jakarta. 7) Thabrani, Hasbullah dan Budi Hidayat (Ed). Pembayaran Kapitasi, tulisan Ascobat Gani, “Pembiayaan Kesehatan di Indonesia”, Cetakan 1, Fakultas Kesehata Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta, 1998 8) Nadjib, Mardiati. Dasar- Dasar Asuransi Kesehatan Bagian B, Modul ujian profesi AAK PAMJAKI kerjasama Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan PT. Askes Indonesia. Cetakan pertama, 2000. 9) Biro Perencanaan Dartemen Kesehatan RI, Analisis Pembiayaan Kesehatan Indonesia 1982/1983 – 1987/1988, Jakarta, 1990. 10) Gani, Ascobat. Pembiayaan Kesehatan dan Prakondisi untuk Asuransi Kesehatan Nasional, makalah pada Seminar pengembangan Sistem Asuransi Kesehatan Sosial, DepKes RI – Dinkes Prop DIY – GTZ di Yogyakarta 16 Oktober 2002. 11) Amien, C dan T. Andayani, Use of National Health Account as a Basic Thought for Indonesia Health Financing Reform. Makalah pada Seminar International Health Economics Association, Barcelona 9 – 13 Juli 2005. 12) Thabrany, Hasbullah. Social Health Insurance Development in Indonesia, makalah pada Seminar Hasil Penelitian Asuransi Kesehatan Sosial, Dep. Kes RI dengan GTZ , Gedung Depkes RI tanggal 11 – 12 Oktober 2005. 13) Thabrany, Hasbullah (ed). Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia, tulisan Hasbullah Thabrany dan Laura Mayanda “Kesenjangan dalam Akses Pelayanan Medis dan Kesenjangan Pendanaan Rumah Sakit Publik”. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. 14) Simamora, Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi kedua, Bagian Penerbitan STIE YKPN, Yogyakarta, 1999. 15) Hasibuan, HMSP. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta, 2000. 16) Trisnantoro, Laksono. Pembiayaan Kesehatan Perusahaan : Kontrak ke Asuransi atau Dikerjakan Sendiri ?. Makalah pada Seminar Penjaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Karyawan, kerjasama PMPK FK UGM dan Klinik Hoo Semarang , Mungkinkah Dikendalikan?. 29 September 2005 di Semarang. 17) Murti, Bhisma. Dasar-Dasar Asuransi Kesehatan, Kanisius, Yogyakarta, 2000. 18) Syaifuddin. F dan Yaslis Ilyas. Managed Care Bagian A : Mengintegrasikan Penyelenggaraan dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan, Kerjasama Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan PT. (persero) Asuransi Kesehatan.Jakarta 2001. 19) Thabrany, Hasbullah. Asuransi Kesehatan Nasional, Edisi Oktober 2005, Persatuan Ahli Manajemen Jaminan Kesehatan Indonesia (Pamjaki), Jakarta, 2005 20) Widjajanto, Beberapa Model Penjaminan Pelayanan Kesehatan, Makalah pada Seminar Penjaminan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Karyawan, kerjasama PMPK FK UGM dan Klinik Hoo Semarang , Mungkinkah Dikendalikan?. 29 September 2005 di Semarang. 21) Feldstein, Paul J. Health Care Economics, second edition, A Wiley Medical Publication John Wiley and Son, New York, 1983. 22) Trisnantoro, Laksono. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005. 23) Alowie , Tjepi A. Kebijakan Pengawasan Tenaga Kerja di Era Desentralisasi di Indonesia, makalah pada Konvensi Nasional Kesehatan Kerja 25- 26 Agustus 2004 di Jakarta. 24) Dewi, Ratih Komala dan Laksono Trisnantoro. Evaluasi Pembiayaan JPKM di Rumah Sakit Surya Husada Denpasar : Studi Kasus Surya Husada Hospital Club di Hotel Grand Hyatt Bali, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Fak. Kedokteran UGM Vol. 03/ No.01/ 2000. 25) Thabrany, Hasbullah (ed). Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia, tulisan Bagus Satriabudi “Pendanaan Obat yang Semakin Berat”. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. 26) Mukti, Ali Ghufron, Idealitas Sistem Asuransi Kesehatan dalam SJSN di Indonesia, makalah pada Seminar Beberapa Isu Pokok Penerapan SJSN di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tanggal 5 Agustus 2005 di Yogyakarta.

0 komentar: